Anda belum login [ Login ]
Resource » Berita Terkini | Artikel | Download
Cari di Arsip:

Tunanetra Bisa 'Melihat' Berkat Augmented Reality

Tanggal: 25 Feb 2015
Sumber: Achmad Rouzni Noor II - detikinet

NamaDomain.com,

Jakarta - Tak semua manusia beruntung bisa lahir dengan kondisi fisik sempurna. Namun berkat kecanggihan teknologi, panca indera yang terbatas tak lagi jadi halangan untuk ikut merasakan indahnya dunia.

Bagi tunanetra, misalnya, impian untuk melihat dunia bukan tak mungkin akan terwujud dalam waktu dekat dengan kian disempurnakannya teknologi Augmented Reality.

Mulai dari Word Lens yang baru-baru ini diakuisisi oleh Google Translate agar bisa menerjemahkan rambu-rambu atau menu restoran ke semua bahasa. Sky Map yang bisa membantu mengidentifikasi bintang dan planet di langit malam. 

Di London, Inggris, teknologi Augmented Reality interaktif ini memberi petunjuk kepada para pengunjung untuk membantu menggali lebih pada pameran-pameran di museum.

Dan yang terbaru, Intel juga ikut ambil bagian dalam pengembangan teknologi Augmented Reality ini. Tujuannya tentu saja, untuk memberikan penglihatan kepada mereka yang tidak bisa melihat.

Menurut Director of the Intel RealSense Interaction Design Group, Rajiv Mongia, pihaknya sedang merealisasikan bagaimana teknologi Augmented Reality ini dapat memperluas persepsi dan bekerja sama baik dengan lingkungan fisik di sekitar kita. 

Mongia dan timnya sedang mengembangkan sebuah prototipe yang memiliki potensi untuk membantu tunanetra dan orang dengan gangguan penglihatan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik dari lingkungan sekitar.


Sistem ini menggunakan teknologi kamera 3D dan sensor-sensor getar (vibrating sensors) yang terintegrasi ke dalam pakaian. Prototipe ini bekerja dengan melihat infomasi terdalam untuk merasakan lingkungan sekitar pengguna. 

Kemudian, umpan balik (feedback) dikirim ke penggunanya melalui teknologi haptic menggunakan getaran motorik pada tubuh untuk memberikan umpan balik. Mongia membandingkan hal ini dengan mode vibrasi pada perangkat ponsel pintar.

“Saat ini intensitas sentuhan adalah proporsional dengan seberapa dekat objek tersebut dengan penggunanya,” kata Mongia seperti detikINET kutip dari situs Intel, Rabu (25/2/2015).

“Jadi jika objek sangat dekat dengan pengguna, getaran akan lebih kuat. Namun apabila objeknya jauh dari pengguna, getaran akan lebih lemah," paparnya lebih lanjut.

 Dalam proyek ini, Intel sangat terbantu oleh kehadiran Darryl Adams, Technical Project Manager Intel, yang 30 tahun lalu didiagnosa menderita Retinitis pigmentosa, penyakit mata yang mengakibatkan kerusakan retina. Ia pun ikut menguji teknologi yang bisa dikenakan pada tubuh manusia (wearable) tersebut. 

Adams menyatakan teknologi ini memungkinkan dia untuk memvisualisasikan mimpinya dengan menambah penglihatannya melalui sensasi sentuhan. “Bagi saya, ada nilai yang luar biasa dalam kemampuan untuk mengenali ketika terjadi perubahan di sekeliling saya," ujarnya.

“Kalau saya sedang berdiri dan merasakan ada getaran, seketika itu saya mampu mengubah arah pada yang lebih tepat untuk melihat apa yang telah berubah. Biasanya hal ini akan terjadi apabila ada seseorang yang mendekat, sehingga saya bisa menyapanya, atau paling tidak saya bisa mengetahui kalau mereka ada.


“Tanpa teknologi ini, saya akan kehilangan jika ada perubahan di sekitar saya sehingga sering membuat jadi sedikit canggung,” tutur Adams lebih lanjut.

Mongia mengatakan timnya sedang mengeksplorasi membuat teknologi yang pas karena belum tentu satu ukuran cocok untuk semua. Sistem ini diuji pada tiga pemakai, masing-masing dengan kebutuhan dan tingkat penglihatan yang sangat berbeda, mulai dari masalah penglihatan paling rendah sampai kepada pemakai yang sepenuhnya buta. 

“Saya pikir ini akan menjadi suatu sistem yang beradaptasi dengan penggunanya atau disesuaikan kepada setiap individu penggunanya untuk memenuhi kebutuhan tertentu mereka masing-masing,” kata Mongia.

OrCam adalah perangkat lainnya yang dirancang untuk tunanetra. Perangkat ini menggunakan mesin pembelajaran (machine learning), suatu bentuk kecerdasan buatan, untuk membantu pengguna berinteraksi dengan lingkungan mereka. Alat tersebut dapat membaca teks dan mengenali hal-hal seperti produk, uang kertas, dan lampu lalu lintas.

OrCam melekat pada salah satu sisi di samping kacamata. Di bagian depan terdapat kamera yang terus menerus memindai bidang pandang penggunanya. Di bagian belakang kamera terdapat tulang kondusi yang mengirimkan suara kepada pemakai. 

Kamera ini terhubung dengan unit pemroses kecil yang bisa disimpan di saku penggunanya. Dengan OrCam, pengguna mengarahkan perangkat pada apa yang ingin dilihatnya. 

“Arahkan pada sebuah buku, perangkat ini akan membacanya,” kata Yonatan Wexler, head of Research and Development at OrCam. “Pindahkan jari pada tagihan telepon anda, dan perangkat ini akan membaca tagihan telepon untuk siapa dan mengetahui berapa nilai tagihannya,” imbuhnya.


Wexler menambahkan, “Tidak perlu mengarahkan perangkat ini untuk mengidentifikasi orang dan wajahnya. Perangkat ini akan memberitahu ketika salah seorang teman mendekati Anda. Hanya butuh waktu sekitar 10 detik untuk mengajar perangkat ini bisa mengenali seseorang."

”Yang perlu dilakukan hanyalah orang tersebut harus melihat ke arah pengguna dan menyebutkan nama mereka,” masih kata dia.

Wexler mengatakan untuk mengajarkan sistem perangkat ini membaca, telah berulang kali ditunjukkan jutaan contoh. Sehingga, algoritma bisa fokus pada pola yang relevan dan dapat diandalkan.

Pada era teknologi yang semakin maju ini, yang perlu dipastikan adalah bahwa perkembangan teknologi seperti Augmented Reality ini tidak menggantikan rasa kemanusiaan seseorang. 

"Saya pikir hal yang kita selalu perlu ingat adalah bahwa ini bukan tentang menggantikan apa yang manusia lakukan. Apa yang seharusnya kita perlu fokus pada suatu hal yang manusia mungkin berfikir tidak bisa melakukannya dengan baik," pungkas Mongia.


(rou/rou)