Anda belum login [ Login ]
Resource » Berita Terkini | Artikel | Download
Cari di Arsip:

Mencoba Maksimal Pada e-Government

Tanggal: 08 Jul 2015
Sumber: Muhammad Sufyan - detikinet

NamaDomain.com,

 


 

http://images.detik.com/content/2015/07/07/398/egov62.jpg

Jakarta - Berbincang digitalisasi pemerintah, alias e-Government di Indonesia, tentu saja bukan sesuatu yang baru dipraktekkan. Akan tetapi, suka tidak suka, harus diakui jika kebermanfaatannya belum sepenuhnya merasuki ruang publik, sehingga imaji birokrasi lamban terus tertancap di benak.

Janji politik Presiden Jokowi, bahwa peranti lunak penyokong e-government bisa dibuat cukup dua minggu, masih terus tergiang. Meski tak semua pemerintah daerah yang jadi garda depan, merespon apa yang menjadi komitmen sang presiden tersebut. 

Betul memang pemerintah pusat sudah mencoba banyak cara dalam digitalisasi birokrasi ini, terutama dalam usaha meningkatkan pendapatan serta menekan kebocoran. Namun irama ini kerapkali tak selaras, atau malah diterjemahkan beda pemerintah daerah (pemda).

Sekalipun demikian, agar fair, kiranya apresiasi tetap perlu diberikan pada unsur pemda yang sudah berusaha keras. Terlebih jika ikhtiar tersebut selain terbukti efektif dan efisien bagi masyarakat, juga dibarengi praktek standar teknologi informasi global.

Efisiensi itu salah satunya terlihat dalam upaya menekan kebocoran, terutama dalam proses tender yang rawan KKN. Dan, yang ini patut diapresiasi, karena efisiensi tahunan implementasi e-government yang satu ini rerata 11,67%-18,11% atau setara Rp 100 miliar-Rp 620 miliar per tahun!

Bahkan, jika direkapitulasikan, dalam kurun 2009-2014 dibukukan efisiensi anggaran Rp 2,35 triliun atau sekitar 13,35% dari nilai anggaran belanja pemda. Ini terjadi antara lain karena masyarakat tak perlu lagi repot mengikuti birokrasi dengan effort berlebih, seluruhnya cukup via aplikasi digital.

Ya, aplikasi tersebut bernama Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). Dibesut pertama oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa), layanan ini dioperasikan Balai Layanan Pengadaaan Secara Elektronik (LPSE), sebuah unit di bawah Dinas Komunikasi Informatika Provinsi Jawa Barat.

Aplikasi ini membuat peserta tender pengadaan barang/jasa di pemerintahan, tak lagi dihadapi berbagai hantu birokrasi manual, rumit, dan panjang.

Kepala Dinas Komunikasi Informatika Provinsi Jabar Dudi Sudradjat Abdurachim mengatakan, sebelum ada SPSE yang diterapkan sejak 2008 lalu, peserta tender tak hanya ribet dari sisi teknis, malah juga harus siap menghadapi kendala non teknis menyeramkan.

“Kita tak bisa menutup mata, tender di pemerintahan zaman dulu, belum juga daftar, kadang ada intimidasi ada organisasi masyarakat yang terafilisi peserta tertentu. Mereka bisa mengancam yang lain tak boleh ikut dengan nongkrong di kantor dinas untuk cegat kompetitor,” katanya, akhir pekan lalu.

Teror itu kemudian bertambah karena dahulu, masyarakat harus selalu datang ke kantor dinas dengan membawa setumpuk dokumen fotokopi berkas syarat tender. Itupun belum tentu langsung sesuai. Tak heran, peserta harus keluar ongkos transportasi bolak-balik yang tak sedikit.

Otomatis, peluang lebih besar buat peserta di dalam kota dibandingkan perusahaan dari luar kota. Lalu, jika dalam sebulan ada dua/kali tender, berhubung sistem masih analog, maka masyarakat pun harus bersiap membawa berkas berbeda-beda yang bejibun.

Selain itu, sambung Dudi, bea operasional bagi pemerintah membengkak karena setiap tender harus sosialisasi masif, termasuk memasang iklan di media massa yang tarifnya lumayan. Belum dengan kesulitan menangkal peserta ‘titipan’ yang kerap berkasnya tak lengkap.

Aplikasi TIK jadi memungkinkan kepala dinas tidak ewuh pakewuh menghadapi hal semacam itu. Sebab, keputusan persetujuan bisa menjadi peserta tender tidak lagi lewat interaksi tatap muka, namun seluruhnya mengacu approval by system.

Di Jawa Barat, skema itu dirombak total mulai 1 Juli 2008 melalui LPSE. Jadinya, peserta tender cukup input seluruh akta legal terkait di SPSE untuk kemudian tahu dan dimudahkan segalanya.

“Penyedia (peserta lelang, red) cukup masukkan berkas sekali seumur hidup untuk dapat ID. Dari ID inilah, seluruh proses dilakukan sekaligus cukup dari kantor masing-masing. Mulai dari lihat pengumuman lelang dan ikut macam-macam tender,” sambung Ika Mardiah, Kepala Balai LPSE Provinsi Jawa Barat.

Situasi ini membuat peserta sontak tak menemui lagi berbagai teror birokrasi menyulitkan. Hingga peserta luar kota Bandung jadi memiliki peluang setara menang tender di Jawa Barat berkembang hingga ke seluruh provinsi di Indonesia. Situasi yang dulu sulit dicapai.

Hingga 5 Juli 2015 lalu, dari 1349 paket tender senilai Rp2,781 triliun, terjadi efisiensi Rp294 miliar dikarenakan aplikasi TIK ini bisa menyaring ketat peserta tender yang selain berkas legalnya komplit, juga memiliki kompetensi memadai dengan penawaran kompetitif.

Inovasi Aplikasi Lanjutan

Efisiensi tanpa inovasi, sebagaimana lazim ditemukan pada dunia TIK, pada akhirnya hanya menciptakan peralihan layanan analog ke digital. Hanya ganti baju. Hal inilah yang melandasi berbagai terobosan kemudian dilakukan, dengan seluruhnya berbasis prinsip good governance.

Maka, lahirlah aplikasi pengembangan SPSE, seperti Pakar Report, ticket & visitor management system, hingga verifikasi online. Dalam Pakar Report yang berbasis web, siapapun bisa melihat data 2008-2015 tentang paket lelang, pihak penyelenggara lelang, penyedia, dst.

Ticket dan visitor juga memungkinkan masyarakat segera memperoleh panduan terkait, sementara verifikasi online mulai mengimplementasikkan paperless dokumen kerja. Yang juga menarik, disajikan data penyedia nakal sehingga kemudian di-blacklist muncul pada SPSE.

“Kami pun sedang proses implementasi SPSE Versi 4, nantinya benar-benar e-procurement karena publik benar-benar tinggal masukin data dalam form digital. Yang sekarang masih ada input data analog yang di-scan,” ungkap Ika, yang Doktor Ilmu Administrasi Konsentrasi Ilmu Pemerintah Unpad ini.

Selain itu, praktek standar teknologi informasi global diterapkan dengan kepemilikan ISO/IEC 27001:2005. Yakni standar global teknologi informasi komunikasi (TIK) tertinggi dalam sistem manajemen keamanan informasi sebagai pengganti BS 7799-2 terbitan British Standard Institute.

Lalu, sudah ada standar penerapan disaster recovery center (DRC) yang ditempatkan tak hanya di data center di Batam, namun simultan ada mirroring di Kota Bandung. Ini ditambah prosedur business contuinity plan/BCP. Alhasil, jika ada bencana, data-operasional aman terlindungi hingga dua lokasi.

Berbagai terobosan ini kemudian membuat sejumlah LPSE di daerah lain meniru Jawa Barat. Contohnya aplikasi Pakar Report sudah diadopsi Pemprov Sulawesi Selatan dan Kementerian Pertanian (tahun 2012) serta Sulawesi Utara dan Kalimantan Selatan (2015).

“Alhamdulillah, kami juga jadi rujukan banyak instansi pemerintah. Setiap tahunnya, sekitar 100 hingga 200 instansi melakukan studi banding ke kantor kami,” katanya, seraya mengatakan dirinya juga kerap diundang pembicara ke seluruh pulau besar di Indonesia --kecuali Pulau Maluku.

Hal ini jadi wajar karena secara paralel, penghargaan nasional diberikan LKPP ke LPSE Jabar yakni LPSE Terbaik Nasional 2010-2011, Terbaik Kategori Service Innovation 2012, Layanan Terbaik 2013, serta National Procurement Award 2014 Kategori Pemenuhan Standar LPSE dan Kategori Peran LPSE Provinsi. 

Dengan seluruh capaian ini, di titik ini, kita bisa melihat bahwa betul memang gelaran besar terkait e-government belumlah optimal benar. Komplain masih ada, namun setidaknya melihat kiprah Dinas Kominfo Jabar dan LPSE-nya, upaya maksimal sudah dilakukan menuju Indonesia unggul berkat TIK. 

*) Penulis, Muhammad Sufyan Abd. merupakan pemerhati bisnis digital dan Dosen Fak. Komunikasi Bisnis Telkom University.